New Post

Thursday, August 17, 2017

Banyak Jalan Menuju Roma!

All roads lead to Rome! 
Sebuah kalimat yang muncul di kepala begitu saya mengingat perjalanan ke Roma sekitar 7 tahun silam. "Banyak jalan menuju Roma", begitu kira-kira peribahasa tersebut populer dalam bahasa Indonesia. Kalimat itu sendiri bermakna bahwa ada banyak cara untuk menggapai sesuatu yang diinginkan. Jadi, kota Roma di kalimat tersebut berfungsi sebagai perumpamaan. Tetapi dalam situasi saya, menuju Roma kebetulan memang sesuatu yang saya inginkan sedari kecil. 


Kesempatan mengunjungi ibukota Italia tersebut datang ketika saya berada di Spanyol. Sebuah peluang yang tentu perlu direalisasikan untuk menjadi sebuah kenyataan. Beberapa hari setelah merampungkan summer course bahasa Spanyol di Universidad de Valladolid, saya terbang dari Madrid ke Roma dengan menggunakan Ryan Air. Maskapai yang berasal dari Irlandia tersebut termasuk salah satu budget airlines di Eropa. Keberadaan maskapai ini lumayan membantu orang-orang yang memiliki dana terbatas seperti saya untuk bisa terbang dan berlibur ke negara lain.   

Saya menginap di Papaya hostel. Biaya menginap di sana sebesar 25 euro semalam untuk tipe dormitory dengan kapasitas 4 orang. Lokasinya di Via Castelfidardo, sekitar 5 menit jalan kaki dari stasiun Termini. 

Termini merupakan stasiun sentral kota Roma di mana beberapa moda transportasi terintegrasi di sini yaitu kereta, bus, hingga metro. Stasiun kereta berada di bagian utama gedung dan melayani rute antar kota hingga antar negara. Stasiun bus berada di area luar dan stasiun metro berada di bawah tanah. Metro merupakan sebutan untuk moda transportasi dalam kota Roma yang berupa kereta bawah tanah. Terdapat 3 line metro: A, B, dan C (saat saya ke Roma, line C belum ada). Termini merupakan titik pertemuan metro line A dan B. Meskipun metro ini bisa dibilang sebagai salah satu transportasi modern, tapi ada hal yang cukup mengganjal. Stasiun metro di Roma ini terkesan suram dan kusam. Ditambah juga dengan keretanya yang penuh coret moret graffiti. Hal yang cukup kontras sebenarnya dengan kondisi bagian utama stasiun Termini yang cukup megah. Di dalam Termini terdapat sejumlah restoran, minimarket, serta berbagai macam toko seperti buku, baju, sepatu, kosmetik, mainan dan lainnya. Berada di dalam stasiun Termini serasa berada di mall.     

Saya memilih Termini sebagai titik awal perjalanan dalam mengelilingi kota Roma. Situs pertama yang hendak saya kunjungi adalah Colosseum. Untuk ke sana, saya menaiki metro line B ke arah Laurentina dan turun di stasiun Colosseo. Cukup dekat sebenarnya, dari Termini hanya melewati satu stasiun untuk sampai di stasiun Colosseo.  

"Akhirnya kaki ini menjejak juga di Roma", begitu lah yang tergumam di dalam hati ketika keluar dari stasiun metro dan melihat Colosseum berdiri megah di depan mata. Saya rasa banyak orang yang berpikiran sama seperti saya, berada di Colosseum berarti sudah sah berada di Roma. 
Colosseum
Colosseum cukup ramai. Perlu sedikit mengantri untuk membeli tiket masuk. Saat itu, harga tiket masuk sebesar 12 euro. Harga yang lumayan untuk seorang yang mengandalkan sisa-sisa uang beasiswanya untuk jalan-jalan. Pada akhirnya saya dikalahkan oleh sebuah rasa penasaran dan merelakan 12 euro melayang untuk masuk ke arena di mana dahulunya para gladiator mempertaruhkan nyawanya.

Saya memasuki Colosseum dengan sangat excited sambil membayangkan sebuah arena yang sangat megah. Sayangnya, yang muncul di depan mata adalah arena yang suram, muram, dan berlumut. Entah karena kurang terawat atau karena bangunan ini menyimpan sejarah berdarah. Sebagaimana diketahui, di tempat ini lah para gladiator menemui ajalnya dan membuat saya tidak habis pikir hal seperti itu bisa menjadi hiburan bagi masyarakat pada zaman itu. Sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling, sebuah stadion sepak bola terlintas dalam pikiran. Saya rasa banyak stadion sepak bola modern terinspirasi dari bangunan Colosseum ini.
Colosseum (inside)
Colosseum dibangun oleh kaisar Vespasian pada tahun 70 M, tetapi baru digunakan pada masa kaisar Titus. Colosseum berupa amphitheatre dengan bentuk oval dan dapat menampung sekitar 50.000 hingga 80.000 penonton. Pertarungan demi pertarungan gladiator tersaji di sini, bahkan kaisar seperti Caligula, Titus, dan Hadrian ikut ambil bagian dalam pertarungan tersebut. Para budak sering turut serta dalam pertarungan gladiator ini karena kemenangan demi kemenangan akan membuat mereka bebas.  
Arch of Constantine
Persis di samping Colosseum, berdiri Arch of Constantine. Gerbang setinggi 25 meter tersebut dibangun untuk merayakan kemenangan kaisar Constantine atas Maxentius. Kaisar Constantine ini juga lah yang membangun kekaisaran Romawi Timur di Konstantinopel (sekarang lebih dikenal sebagai Istanbul).

Masih di sekitaran Colosseum, terdapat areal luas yang menyisakan puing-puing dan reruntuhan dari kota Romawi kuno. Areal yang berada di lembah antara bukit Palatine dan Capitoline tersebut dikenal sebagai Roman Forum, yang dahulunya merupakan pusat kota Roma. Tiket masuk ke Colosseum ternyata satu paket dengan tiket masuk ke Roman Forum dan saya baru menyadarinya belakangan. Pada akhirnya saya hanya menikmati pemandangan reruntuhan kota Romawi kuno tersebut dari balik pagar yang mengelilinginya sambil menyusuri jalan Fori Imperiali menuju Piazza Venezia.
Roman Forum (Temple of Venus Genetrix)
Dari sisi ini bisa terlihat jelas sisa-sisa reruntuhan bangunan seperti Curia dan Temple of Venus Genetrix. Curia merupakan bangunan yang digunakan untuk pertemuan senat. Melangkah sedikit lagi, sebuah patung besar Julius Caesar pun menyambut dengan gagahnya. Patung tersebut berdiri di luar pagar Roman Forum (di trotoar jalan Fori Imperiali). Sisa-sisa reruntuhan Temple of Venus Genetrix berada tepat di belakang patung Julius Caesar tersebut. Kuil yang dibangun oleh Julius Caesar sebagai persembahan untuk Dewi Venus tersebut sekarang menyisakan 3 tiang tingggi beserta beberapa reruntuhan kecil bangunannya. 

Selain itu, masih banyak sekali sisa-sisa reruntuhan kota Romawi kuno ini seperti Temple of Saturn, Temple of Vesta, Temple of Antoninus and Faustina, dan lainnya. Kalau ke sana tidak membawa tour guide, sebaiknya membawa buku panduan atau browsing terlebih dahulu karena yang tersisa dari kota Romawi kuno ini hampir semuanya berupa reruntuhan dan puing-puing bangunan yang susah diidentifikasi bangunan apa itu sebelumnya.
National Monument to Vittorio Emanuele II
Lanjut ke perjalanan saya, setelah menyusuri jalan Fori Imperiali sampai lah saya di Piazza Venezia. Di tempat ini berdiri sebuah bangunan putih bernama National Monument to Vittorio Emanuele II. Kalau dilihat sekilas, bangunan ini strukturnya mirip mesin tik. Tetapi ada juga yang bilang seperti susunan kue pernikahan. Bangunan ini cukup baru jika dibandingkan dengan bangunan-bangunan di situs bersejarah yang baru saja saya lewati tadi. Monumen ini diresmikan pada tahun 1911 sebagai bentuk perayaan atas kemenangan Vittorio Emanule II yang merupakan raja Italia pertama setelah penyatuan Italia. Kalau tertarik untuk masuk ke dalam monumen, silakan mengeluarkan kocek sebesar 7 euro. Di depan monumen terdapat sebuah boulevard dengan taman rumput berbentuk bulat di tengah-tengahnya. Untuk memotret monumen tersebut secara utuh dapat dilakukan dari taman rumput ini.

Dari sini, saya melanjutkan perjalanan menuju Trevi Fountain. Lokasinya tidak begitu jauh, dapat ditempuh sekitar 15 menit dengan berjalan kaki. Tempat ini biasanya selalu ramai oleh pengunjung sehingga air mancur dari abad ke-18 ini bisa dinobatkan sebagai yang paling populer di Roma.
Trevi Fountain
Pada tahun 1954, sebuah film berjudul "Three Coins in the Fountain" menampilkan mitos terkait Trevi Fountain seperti berikut:
If you throw one coin, you will return to Rome.
If you throw two coins, you will fall in love with an attractive Italian.
If you throw three coins, you will marry the person that you met.

Sepertinya mitos yang diusung oleh film tersebut cukup mengangkat popularitas air mancur tersebut. Tak heran, aktivitas melempar koin menjadi pemandangan yang umum dijumpai saat berada di sana. Well, tidak sampai di situ saja. Ada terms & conditions yang harus dipenuhi juga, tidak sembarang lempar saja. Pegang koin di tangan kanan, lempar melewati bahu kiri dengan badan dalam posisi membelakangi air mancur. Kira-kira begitulah gaya lempar koin yang harus dilakukan. 

Saya sendiri tidak percaya dengan hal-hal seperti ini. "Jalanmu menuju Roma" tetap ditentukan oleh seberapa gigih usaha yang kamu lakukan untuk itu. 

Perjalanan saya berikutnya berlanjut ke Pantheon. Dengan berjalan kaki selama kurang lebih 20 menit dari Trevi Fountain, sebuah kuil dari zaman Romawi kuno sudah ada di depan mata. Bangunannya sendiri berbentuk lingkaran, hal yang tidak disadari kalau hanya melihat bangunan tersebut dari depan saja. Di bagian depan, berdiri 16 tiang tinggi yang menopang atap berbentuk segitiga. Yang cukup menarik adalah bangunan ini ternyata memiliki diameter dan tinggi yang sama, yaitu 43,5 meter. Sayangnya, dinding bangunannya terlihat kusam. Entah disengaja untuk menunjukkan fakta sangat tua dan klasiknya bangunan tersebut atau emang luput dari target perawatan. 

Di dalam Pantheon terdapat makam beberapa raja dan seniman-seniman terkenal dari Italia. Salah satunya adalah makam Raphael, pelukis Italia yang cukup populer dari zaman Reinassance. Untuk masuk ke dalam kuil yang dibangun oleh Marcus Agrippa ini tidak dipungut biaya alias gratis.

Persis di depan Pantheon terdapat sebuah air mancur yang di tengahnya ditancapkan sebuah obelisk. Di sekeliling Pantheon Fountain terdapat undak-undakan pendek yang biasanya digunakan oleh pengunjung untuk duduk-duduk santai sambil menikmati keramaian di sekitarnya. Ya, areal sekitar Pantheon ini cukup ramai. Di sekelilingnya banyak terdapat kafe dan restoran outdoor. Seniman-seniman jalan pun bertebaran di areal ini untuk menunjukkan kebolehannya sambil berharap atraksinya berujung lemparan koin dari pengunjung yang berada di sekitarnya.   

Saya tidak berlama-lama di Pantheon karena sebentar lagi matahari akan terbenam. Saya segera bergegas memacu langkah menuju Piazza Navona. Dalam waktu sekitar 20 menit saya sudah sampai di salah satu alun-alun yang sangat populer di kota Roma ini.  
Piazza Navona
Alun-alun ini dulunya adalah bagian dalam dari Stadium of Domitian. Sesuai namanya, stadion ini dibangun oleh Kaisar Domitian dan digunakan untuk kompetisi atletik. Ketika Colosseum terbakar, pertandingan gladiator katanya dipindahkan ke stadion ini. Stadium of Domitian ini pun mirip Colosseum tetapi dengan bentuk seperti huruf U, bentuk yang 90% tetap dipertahankan ketika disulap menjadi Piazza Navona pada abad ke-15. Jika tertarik untuk mengetahui stadion ini lebih detail, anda bisa mengunjungi museumnya yang juga berada di sekitar area Piazza Navona. Bahkan, di area bawah tanah masih terdapat sisa-sisa reruntuhan stadion. Sayangnya, perlu izin khusus untuk masuk ke area bawah tanah tersebut.  

Meskipun matahari perlahan-lahan mulai tenggelam dan lampu-lampu mulai dinyalakan, keramaian di Piazza Navona tidak berkurang. Saya kira alun-alun ini tidak didominasi oleh wisatawan saja, sepertinya penduduk lokal juga senang berbaur di sini. Seniman-seniman jalanan mulai dari pelukis, pengamen, penari hingga tukang sulap bertebaran di sini, mencoba peruntungannya dengan menunjukkan kebolehannya agar berbuah uluran koin hingga lembaran euro. Meja-meja dan kursi-kursi dari kafe dan restoran tertata rapi di sepanjang sisi alun-alun tersebut untuk mengakomodir pengunjung yang ingin bersantap sambil tetap menikmati suasana sekitarnya. 

Tiga air mancur menghiasi Piazza Navona ini: Fountain of Neptune di utara, Fountain of The Moors di selatan, dan Fountain of the Four Rivers di tengah. Di antara ketiga air mancur tersebut, bintang utamanya adalah Fountain of The Four Rivers. Diberi nama Fountain of The Four Rivers karena dirancang untuk merepresentasikan empat sungai terbesar di masing-masing benua yang diketahui saat itu: sungai Nil di Afrika, sungai Gangga di Asia, sungai Rio de la Plata di Amerika, dan sungai Danube di Eropa. Seperti Pantheon Fountain, di bagian tengah air mancur ini juga tertancap sebuah obelisk.     

Sepanjang area ini juga tersebar bangku-bangku yang bisa secara bebas digunakan oleh pengunjung. Selepas menyisir alun-alun ini, saya menempatkan diri di salah satu bangku yang kosong untuk melepas lelah. Saya mengeluarkan sisa makan siang yang saya beli tadi di McDonald. Porsi di sini lumayan besar sehingga bisa untuk dua kali makan. Menyantap makanan sambil menikmati suasana alun-alun serta diiringi bunyi gemericik air dari Fountain of the Four Rivers, cukup untuk meredakan kepenatan setelah mengitari ibukota Italia ini dengan sepenuhnya jalan kaki selama kurang lebih 4 jam.

Begitu kelelahan yang dirasa sedikit hilang dan matahari pun sudah tidak terlihat lagi, saya mulai beranjak dari Piazza Navona. Saya berencana pulang ke hostel dengan menggunakan bus karena memang tidak ada stasiun metro di sekitar Piazza Navona. Saya pun mencari halte bus terdekat. Sesampainya di halte bus, saya langsung menuju ke bagian di mana terpampang sebuah kertas yang saya yakin berisi informasi rute dari bus-bus yang melewati halte ini. Sepertinya tidak ada bus dari halte ini yang berhenti di Termini. 

Pada akhirnya saya memutuskan kembali ke hostel dengan berjalan kaki. Setidaknya, itu satu-satunya cara yang aman versi saya saat itu. Ternyata tidak seaman yang saya kira, perjalanan cukup mencekam. Beberapa jalan yang saya lewati gelap dan sepi, ditambah sesekali saya harus mengecek peta untuk memastikan saya berada di jalur yang benar. 

Saya tak henti-hentinya bersyukur ketika akhirnya bisa sampai dengan selamat kembali ke hostel. Meskipun hari pertama saya di Roma berakhir dengan sebuah ketidaknyamanan tetapi hal ini langsung terhapus begitu teringat saya sedang berada di ibukota Italia. Sekarang saya sudah bisa membubuhkan tanda centang pada nama kota tersebut di buku impian saya.

"Banyak jalan menuju Roma", saya teringat kembali dengan kalimat itu. Mewujudkan impian menyambangi ibukota Italia ini tidak gampang, ada hal yang dengan rela harus dikorbankan. Tetapi itu lah yang namanya impian, untuk meraihnya segala daya dan upaya dikerahkan. Dan yang paling penting adalah untuk terus berdoa. Jika waktunya sudah tiba, impian tersebut akan berganti nama menjadi kenyataan. In Syaa Allah...

Bagaimana dengan jalanmu menuju Roma?
    

No comments:

Post a Comment